Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan nilai produksi perikanan budidaya mencapai Rp 250 triliun pada 2024, atau meningkat sekitar 60% dari 2020 yang sebesar Rp 153 triliun. Pengembangan subsektor perikanan budidaya menjadi salah satu program terobosan KKP pada periode 2021-2024 di bawah komando Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono.
Dirjen Perikanan Budidaya KKP TB Haeru Rahayu menjelaskan, budidaya ikan perlu diangkat karena tren produksinya selalu lebih tinggi dari perikanan tangkap. Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPI) juga terus naik, saat ini di posisi 140, yang menggambarkan bahwa perikanan budidaya menjadi prioritas pelaku perikanan. “Total produksi perikanan budidaya pada 2020 mencapai 15,37 juta ton senilai Rp 153 triliun, target produksi perikanan budidaya pada 2024 sebesar 20,65 juta ton senilai Rp 250 triliun. Inilah optimisme KKP pada 2024 dengan mendorong perikanan budidaya untuk terus tumbuh,” ungkap Haeru.
Haeru mengatakan itu saat media visit ke Redaksi Investor Daily di Jakarta, Kamis (14/10/2021). Turut hadir adalah Kepala Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) KKP Rina dan Asisten Khusus Menteri KP Bidang Media dan Komunikasi Publik Doni Ismanto.
Menurut Haeru Rahayu, dalam pengembangan perikanan budidaya di Tanah Air, arah kebijakan yang diambil Menteri Trenggono adalah mengembangkan perikanan budidaya berbasis ekspor dengan didukung riset dan ilmu pengetahuan namun tetap melindungi kepentingan domestik dan menjaga lingkungan. “Semua benar-benar harus dilakukan secara seimbang,” jelas dia.
Strategi pengembangan perikanan budidaya mencakup budidaya ikan air tawar, seperti ikan mas, nila, patin, lele, gurame, dan
ikan hias, budidaya ikan air payau, seperti udang vaname, udang windu, bandeng, kepiting, dan budidaya ikan air laut, seperti ikan kakap, kerapu, bawal bintang, rumput laut, dan juga lobster.
Haeru menjelaskan, potensi produksi dan ekspor perikanan budidaya masih bisa digali lebih dalam, apalagi saat ini konsumsi ikan terutama dari budidaya laut sangat luar biasa. Permintaan pasar sangat besar, tetapi pangsa pasar Indonesia di dunia pada 2020 baru 3,50%. “Artinya, perikanan budidaya masih punya potensi besar dikembangkan,” jelas dia.
Dilihat dari sisi komoditas, pengembangan udang untuk saat ini memang paling tinggi di Indonesia, diikuti lobster, rumput laut,
dan kepiting. Jumlah pembudidaya udang vaname mencapai 389.271 orang dengan produksi pada 2020 sebesar 856.762
ton senilai Rp 51,30 triliun dan pada 2024 ditargetkan 2 juta ton senilai Rp 120 triliun. Untuk lobster, jumlah pembudidaya 1.965 orang dengan produksi pada 2020 sebesar 186 ton senilai Rp 40 miliar dan pada 2024 ditargetkan 8.300 ton senilai Rp 2 triliun. Jumlah pembudidaya kepiting 7.308 orang dengan produksi 14.000 ton senilai Rp 900 miliar dan pada 2024 ditargetkan 25.000 ton senilai Rp 1,60 triliun. Sedangkan pembudidaya rumput laut 258.189 orang dengan produksi 9.780.272 ton senilai Rp 29,10 triliun dengan target 2024 sebanyak 12,30 juta ton senilai Rp 36,50 triliun.
Sedangkan Rina mengatakan, saat ini, produk perikanan RI sudah diterima di 150 negara. BKIPM selalu berdiskusi dengan pelaku usaha dan stakeholder perikanan agar dihasilkan produk yang sesuai permintaan pasar, termasuk standar mutu di negara tujuan. Seperti belum lama ini, sebanyak 59 perusahaan perikanan Indonesia dinilai sudah memenuhi standar
mutu perikanan di Timur Tengah. “Tugas kami termasuk mengurus sertifikat layak untuk perikanan budidaya tujuan ekspor, ada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari proses karantina ini, ada tarif negara di dalamnya,” ungkap Rina.
Rina menjelaskan, BKIPM mendapatkan tugas sebagai quality assurance dan produk yang keluar dari Indonesia sudah dijamin mutunya sesuai standar internasional. Produk perikanan yang masuk ke Indonesia juga harus aman dan layak dikonsumsi dan itu menjadi tugas BKIPM untuk memastikannya. “Terkait quality assurance ini kita harus bergerak cepat dalam mengontrol produk perikanan, mengawal hingga akhirnya mendapatkan satu jaminan bahwa produk tersebut aman dari hulu-hilir dan memberikan nilai tambah di luar negeri terutama dari Uni Eropa (UE) yang mempunyai standar cukup berat,” ujar dia.
Evaluasi HPI
Pada bagian lain, KKP memutuskan mengevaluasi ulang penetapan harga patokan ikan (HPI) dan produktivitas kapal penangkap ikan demi mengakomodasi aspirasi para nelayan. Penetapan HPI tertuang dalam Kepmen KP No 86 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan, sedangkan penetapan produktivitas kapal penangkap ikan tertuang dalam Kepmen KP No 87 Tahun 2021. Kedua aturan itu telah berlaku mulai 18 September 2021 dan merupakan turunan dari PP No 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada KKP.
Plt Setditjen Perikanan Tangkap KKP Trian Yunanda menjelaskan, ada tiga variabel penentu PNBP subsektor perikanan tangkap, yakni penentuan tarif dari Kementerian Keuangan serta HPI dan produktivitas kapal penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh KKP. Untuk menentukan HPI dan produktivitas tersebut, KKP menggunakan data dua tahun terakhir yang dikumpulkan dari
124 pelabuhan perikanan di Indonesia. Artinya, data tersebut tidak mungkin dimanipulasi karena KKP diawasi Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). “HPI terakhir ditetapkan pada 2011dengan basis data 2010. Jadi ini sudah 10 tahun tidak ada penyesuaian. Kita tidak bisa memanipulasi harga itu, tentunya 10 tahun harga-harga sudah naik, inflasi dan tentunya kita harus melakukan penyesuaian,” tegas dia.
Asisten Khusus Menteri KP Doni Ismanto menegaskan, evaluasi HPI dan produktivitas kapal penangkapan ikan merupakan wujud keterbukaan Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono atas aspirasi yang disampaikan masyarakat perikanan selama ini. “Ini
bukti Pak Menteri mendengar aspirasi masyarakat. Tapi harus diingat bahwa semangat hadirnya aturan yang dibuat ini adalah untuk menjaga sumber daya alam perikanan kita berkelanjutan. Aturan ini juga wujud keadilan bagi semua pihak, antara negara dan masyarakat yang selama ini memanfaatkan sumber daya alam perikanan yang ada,” tegas Doni. (*/cr2)
Sumber: beritasatu.com